Siapkan tisyu untuk membacanya..
Seorang akhwat menceritakan kenangan masa lalunya yang tak terlupakan:
“Namaku Mariani, orang-orang biasa memangilku Aryani. Ini adalah kisah
perjalanan hidupku yang hingga hari ini masih belum lengkang dalam
benakku. Sebuah kisah yang nyaris membuatku menyesal seumur hidup bila
aku sendiri saat itu tidak berani mengambil sikap. Yah, sebuah
perjalanan kisah yang sungguh aku sendiri takjub dibuatnya, sebab aku
sendiri menyangka bahwa di dunia ini mungkin tak ada lagi orang seperti
dia.
Tahun 2007 silam, aku dipaksa orang tuaku menikah dengan seorang pria,
Kak Arfan namanya. Kak Arfan adalah seorang lelaki yang tinggal
sekampung denganku, tapi dia seleting dengan kakakku saat sekolah dulu.
Usia kami terpaut 4 Tahun. Yang aku tahu bahwa sejak kecilnya Kak Arfan
adalah anak yang taat kepada orang tuanya dan juga rajin ibadah.
Tabiatnya yang seperti itu terbawa-bawa sampai ia dewasa. Aku merasa
risih sendiri dengan Kak Arfan apabila berpapasan di jalan, sebab sopan
santunnya sepertinya terlalu berlebihan pada orang-orang. Geli aku
menyaksikannya, yah, kampungan banget gelagatnya…,
Setiap ada acara-acara ramai di kampung pun Kak Arfan tak pernah
kelihatan bergabung sama teman-teman seusianya. Yaah, pasti kalau dicek
ke rumahnya pun gak ada, orang tuanya pasti menjawab “Kak Arfan di
mesjid nak, menghadiri taklim”. Dan memang mudah sekali mencari Kak
Arfan, sejak lulus dari Pesantren Al-Khairat Kota Gorontalo.
Kak Arfan sering menghabiskan waktunya membantu orang tuanya jualan,
kadang terlihat bersama bapaknya di kebun atau di sawah. Meskipun kadang
sebagian teman sebayanya menyayangkan potensi dan
kelebihan-kelebihannya yang tidak tersalurkan. Secara fisik memang Kak
Arfan hampir tidak sepadan dengan ukuran ekonomi keluarganya yang
pas-pasan. Sebab kadang gadis-gadis kampung suka menggodanya kalau Kak
Arfan dalam keadaan rapi menghadiri acara-acara di desa.
Tapi bagiku sendiri, itu adalah hal yang biasa-biasa saja, sebab aku
sendiri merasa bahwa sosok Kak Arfan adalah sosok yang tidak istimewa.
Apa istimewanya menghadiri taklim, kuper dan kampungan banget. Kadang
hatiku sendiri bertanya, koq bisa yah, ada orang yang sekolah di kota
namun begitu kembali tak ada sedikitpun ciri-ciri kekotaan melekat pada
dirinya, HP gak ada. Selain bantu orang tua, pasti kerjanya ngaji,
sholat, taklim dan kembali ke kerja lagi. Seolah ruang lingkup hidupnya
hanya monoton pada itu-itu saja, ke biosokop kek, ngumpul bareng
teman-teman kek setiap malam minggunya di pertigaan kampung yang
ramainya luar biasa setiap malam minggu dan malam Kamisnya. Apalagi
setiap malam Kamis dan malam Minggunya ada acara curhat kisah yang TOP
banget di sebuah station Radio Swasta digotontalo, kalau tidak salah
ingat nama acaranya Suara Hati dan nama penyiarnya juga Satrio
Herlambang.
Waktu terus bergulir dan seperti gadis-gadis modern pada umumnya yang
tidak lepas dengan kata Pacaran, akupun demikian. Aku sendiri memiliki
kekasih yang begitu sangat aku cintai, namanya Boby. Masa-masa indah
kulewati bersama Boby. Indah kurasakan dunia remajaku saat itu. Kedua
orang tua Boby sangat menyayangi aku dan sepertinya memiliki
sinyal-sinyal restunya atas hubungan kami. Hingga musibah itu tiba, aku
dilamar oleh seorang pria yang sudah sangat aku kenal. Yah siapa lagi
kalau bukan si kuper Kak Arfan lewat pamanku. Orang tuanya Kak Arfan
melamarku untuk anaknya yang kampungan itu.
Mendengar penuturan mama saat memberitahu padaku tentang lamaran itu,
kurasakan dunia ini gelap, kepalaku pening…, aku berteriak
sekencang-kencangnya menolak permintaan lamaran itu dengan tegas dan
terbelit-belit aku sampaikan langsung pada kedua orang tuaku bahwa aku
menolak lamaran keluarganya Kak Arfan. dan dengan terang-terangan pula
aku sampaikan pula bahwa aku memiliki kekasih pujaan hatiku, Boby.
Mendengar semua itu ibuku shock dan jatuh tersungkur kelantai. Akupun
tak menduga kalau sikapku yang egois itu akan membuat mama shock. Baru
kutahu bahwa yang menyebabkan mama shok itu karena beliau sudah menerima
secara resmi lamaran dari orang tuanya Kak Arfan. Hatiku sedih saat
itu, kurasakan dunia begitu kelabu. Aku seperti menelan buah simalakama,
seperti orang yang paranoid, tidak tahu harus ikut kata orang tua atau
lari bersama kekasih hatiku Boby.
Hatiku sedih saat itu. Dengan berat hati dan penuh kesedihan aku
menerima lamaran Kak Arfan untuk menjadi istrinya dan kujadikan malam
terakhir perjumpaanku dengan Boby di rumahku untuk meluapkan
kesedihanku. Meskipun kami saling mencintai, tapi mau tidak mau Boby
harus merelakan aku menikah dengan Kak Arfan. Karena dia sendiri
mengakui bahwa dia belum siap membina rumah tangaa saat itu.
Tanggal 11 Agustus 2007 akhirnya pernikahanku pun digelar. Aku merasa
bahwa pernikahan itu begitu menyesakkan dadaku. Air mataku tumpah di
malam resepsi pernikahan itu. Di tengah senyuman orang-orang yang hadir
pada acara itu, mungkin akulah yang paling tersiksa. Karena harus
melepaskan masa remajaku dan menikah dengan lelaki yang tidak pernah
kucintai. Dan yang paling membuatku tak bisa menahan air mataku, mantan
kekasihku Boby hadir juga pada resepsi pernikahan tersebut. Ya Allah
mengapa semua ini harus terjadi padaku ya Allah… mengapa aku yang harus
jadi korban dari semua ini?
Waktu terus berputar dan malam pun semakin merayap. Hingga usailah acara
resepsi pernikahan kami. Satu per satu para undangan pamit pulang
hingga sepi lah rumah kami. Saat masuk ke dalam kamar, aku tidak
mendapati suamiku Kak Arfan di dalamnya. Dan sebagai seorang istri yang
hanya terpaksa menikah dengannya, maka aku pun membiarkannya dan
langsung membaringkan tubuhku setalah sebelumnya menghapus make-up
pengantinku dan melepaskan gaun pengantinku. Aku bahkan tak perduli
kemana suamiku saat itu. Karena rasa capek dan diserang kantuk, aku pun
akhirnya tertidur.
Tiba-tiba di sepertiga malam, aku tersentak tatkala melihat ada sosok
hitam yang berdiri disamping ranjang tidurku. Dadaku berdegup kencang.
Aku hampir saja berteriak histeris, andai saja saat itu tak kudengar
suara takbir terucap lirih dari sosok yang berdiri itu. Perlahan
kuperhatikan dengan seksama, ternyata sosok yang berdiri di sampingku
itu adalah Kak Arfan suamiku yang sedang sholat tahajud. Perlahan aku
baringkan tubuhku sambil membalikkan diriku membelakanginya yang saat
itu sedang sholat tahajud. Ya Allah aku lupa bahwa sekarang aku telah
menjadi istrinya Kak Arfan. Tapi meskipun demikian, aku masih tak bisa
menerima kehadirannya dalam hidupku. Saat itu karena masih dibawah
perasan ngantuk, aku pun kembali teridur. Hingga pukul 04.00 dini hari,
kudapati suamiku sedang tidur beralaskan sajadah di bawah ranjang
pengantin kami.
Bersambung ke Part 2
--8kabar blog--